22 January 2021

Mama, Tolong Peluk Aku Sekali Saja


Oke kali ini gue mau sedikit berbagi cerita.

Mama, Tolong Peluk Aku Sekali Saja

Namaku Camilla Putri Fransiska, biasa dipanggil Milla. Umurku tahun ini menginjak angka 17. 
Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku bernama Kaila Putri Fransiska. Usiaku dan usia Kaila hanya selisih dua angka. Kaila memasuki usia ke-14nya bulan lalu. Ah, mengingat Kaila selalu membuatku iri. Kaila sangat cantik, di usianya yang memasuki masa remaja, Kaila terlihat sebagai gadis yang sempurna dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kaila memiliki rambut lurus yang panjang dan hitam mengurai. Kulitnya pun putih dan lembut. 


Jika dilihat dari wajahnya, bentuk mata, hidung, bibir, semuanya nyaris sempurna. Tidak ada garis cacat di sana. Selain fisiknya yang bisa dikatakan sempurna, Kaila juga seorang gadis yang pintar. Di sekolah, ia selalu menempati peringkat tiga besar. Kaila benar-benar merupakan anak kebanggaan papa dan mama. Berbanding terbalik denganku, tak ada yang bisa dibanggakan dari diriku dari segi fisik atau segi apapun. Tetapi, aku tetap bersyukur karena Tuhan masih memberiku anugerah kehidupan.

Suatu saat di pagi hari yang cerah, aku sedang menyisir rambutku yang keriting dan berwarna hitam kecoklatan ini dikamarku. “Boleh masuk?” tanya papa sambil membuka pintu kamarku. Aku menjawab pertanyaan papa dengan anggukan. Papa masuk dan menghampiriku, lalu berdiri di belakangku. Papa mengambil sisir ditanganku dan mulai menyisir rambutku sambil sesekali mengusap kepalaku. Ah, aku sangat merasa nyaman dengan keadaan ini. Tangan papa yang lembut dan hangat selalu menjadi pendorong dan penyemangat hidupku. Rasanya, aku ingin selalu begini.

“Papa mau mengantarkan mama pergi ke pasar, kamu mau nitip sesuatu?” tanya papa. Aku berpikir sejenak dan mengingat cat hitamku habis. Padahal, aku harus menyelesaikan lukisanku. Lukisan yang akan kujadikan hadiah ulang tahun mama minggu depan. “Cat saja, yang hitam” ujarku singkat. “Baiklah,” jawab papa. Beberapa menit kemudian, papa tersenyum kepadaku melalui cermin. “Dah, selesai.” Kata papa seraya mengelus rambutku yang terkuncir rapi di puncak kepala. Lalu, papa berpamitan kepadaku dan beranjak keluar dari kamarku.

Aku beranjak ke sudut kamar. Di sana terdapat sebuah kanvas yang tertutup kain putih. Kusibak kain itu, dan terpampanglah sebuah lukisan setengah jadi. Aku pun mulai menyelesaikan lukisan itu. Di lukisan yang baru setengah jadi itu, ada sosok seorang perempuan yang selama ini kurindukan pelukan dan kasih sayangnya. Seorang perempuan yang kupanggil ‘Mama’. Mengingat mama membuat konsentrasiku buyar. Tanganku menggantung di udara, aku urung melanjutkan kegiatanku. Kuletakkan kuas dan palet warna di meja di sisi kanvas. Pandanganku mengabur tatkala kembali kupandang lukisan di depanku. Air mataku menetes, andaikan mama mau melihatku sedikit saja, memanggil namaku, dan memelukku, mungkin aku akan merasa seperti orang yang paling bahagia sedunia. Aku tidak ingat lagi, kapan terakhir kalinya mama melakukan semua itu untukku. 

Mungkin mama merasa aku sudah mati baginya. Anak mama hanya Kaila. Selalu hanya Kaila. Aku pernah mendengar bahwa mama malu punya anak sepertiku, hatiku sangat perih saat itu. Memang demikianlah keadaanku, terlahir tak sesempurna Kaila, kedua kakiku tak berfungsi normal, sehingga seumur hidupku harus kuhabiskan di kursi roda. Ah, jika aku punya kaki seperti Kaila atau seperti anak lainnya, aku ingin sekali berlari, menari, dan berlompat-lompatan. 

Tak dapat ku tahan air mataku, hingga terdengar suara ketukan di pintu yang membuat lamunanku buyar, kuusap air mataku dengan cepat. Aku tidak ingin orang lain tau bahwa aku sedang menangis. “Mbak Milla, ini Mbok bawakan sarapan.” Suara Mbok Inah, asisten rumah tanggaku, terdengar di balik pintu. “Ya Mbok. Masuk aja.” sahutku sambil menarik kain penutup kanvas di depanku. Mbok Inah yang sudah bekerja selama 23 tahun di keluarga kami, masuk sambil membawakan sarapan untukku, menaruh sarapan itu di mejaku, dan menyuruhku untuk memakannya.

Hari yang dinanti pun tiba. Sejak pagi, semua anggota keluargaku sibuk menyiapkan segalanya untuk pesta perayaan ulang tahun mama, kecuali diriku yang hanya berada di dalam kamar dan sibuk membungkus lukisan yang telah kubuat dengan kertas sampul berwarna coklat.

Nanti aku akan minta tolong Mbok Inah untuk meletakkannya di ruang tamu, tempat dimana acara akan berlangsung. Aku tidak pernah hadir di acara ulang tahun mama, karena aku tidak ingin mama malu dengan keberadaanku. Aku juga tak ingin melihat orang-orang menatapku dengan rasa kasihan. Biasanya, aku akan mengintip dari balik pintu kamarku sepanjang acara berlangsung. Aku selalu mendoakan kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan untuk mama. Aku juga mendesahkan doa khususku, bahwa aku ingin mama menyayangiku, seperti mama menyayangi Kaila. Baru kali ini aku memberikan hadiah khusus untuk mama. Akhirnya acarapun dimulai, kuputuskan untuk keluar kamar menyusul Mbok Inah di dapur. Sebelum keluar, aku menjangkau lukisan dalam sampul coklat yang tersandar di dinding. Dengan bersusah payah, aku mengayuh kursi roda dengan tanganku yang bebas. Cukup sulit memang, karena aku harus menyeret lukisan yang ukurannya lumayan besar.

Sesampainya di dapur, aku meminta tolong Mbok Inah untuk memberikan lukisan itu pada mama nanti. Aku tidak mungkin menyerahkannya langsung kepada mama, karena aku tak ingin mama merasa malu, marah, atau bahkan terjadi sesuatu yang lebih buruk lagi. Akhirnya, Mbok Inah mengambil lukisan itu dari tanganku dan membawanya ke ruang tamu. Aku mengintip kejadian saat Mbok Inah menyerahkan lukisan itu kepada mama. Mama terlihat bingung dan melayangkan pandangannya ke arah tempatku bersembunyi. Aku menarik diriku lebih jauh ke balik dinding.
Hingga tiba saat acara tiup lilin, mama meniup lilinnya yang berangka 45 dibantu oleh papa dan Kaila yang berada disebelahnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Tak terasa air mata menetes di pipiku. Aku menangis, entah untuk kebahagiaan atau untuk kesedihan.

Tiba saatnya acara buka kado, kado yang akan dibuka adalah kado dari orang-orang terdekat mama. Dimulai dari kado yang diberikan oleh nenek, papa, Kaila, dan terakhir adalah kado bersampul coklat yang kuberikan untuk mama. Aku bingung akan seperti apa reaksi mama nantinya. 
Mama merobek sampul berwarna coklat itu. Semua mata tertuju pada kado yang sedang dibuka oleh mama. Saat keseluruhan sampulnya sudah terlepas, nampaklah mama sedang memegang sebuah lukisan. Mama terdiam lama memandangi lukisan itu. Papa yang berdiri di sebelahnya pun ikut terdiam. Lukisan yang amat indah dan terlihat nyata. Lukisan itu adalah lukisan keluarga kami.
 
Keluarga kami yang utuh. Ada papa, mama, Kaila, dan aku. Di lukisan itu, mama sedang memeluk kami, keluarga kecilnya. Ku tuliskan juga sebuah pesan singkat dibagian pojok kiri bawah lukisan itu, ‘Milla sayang mama selamanya.’ Kulihat mata mama mulai berkaca-kaca.
“Milla…” lirih mama menyebut namaku. Aku tak sanggup lagi menyaksikan kejadian itu, rasanya air mataku yang ingin terjatuh tidak bisa kutahan lagi. Aku mendorong kursi rodaku menuju kamar. Sesampainya di kamar dan setelah pintu kamar kukunci, aku melepaskan tangisku sepuas yang aku bisa meski dalam diam. Kutumpahkan semua air mataku yang tadi tertahan. Aku menangis dan terus menangis hingga aku merasa dadaku sedikit lega. Akhirnya, aku mendengar suara ketukan di pintu kamarku dan dari balik pintu itu sebuah suara memanggilku, “Milla, buka pintunya nak!” Suara itu adalah suara yang telah lama tak kudengar memanggil namaku. 

Maafkan Mama.” Benar, itu memang suara mama. Bergegas kuputar kunci kamar. Mama mendorong pintu kamarku dan langsung memelukku. Aku benar-benar merasa ini seperti mimpi. Kemudian, papa juga memelukku. Kaila yang tidak ingin ketinggalan ikut masuk ke dalam kehangatan pelukkan itu. Ini impianku, impian yang akhirnya menjadi kenyataan. Aku merasa sangat senang dan bersyukur atas mimpiku yang telah menjadi kenyataan ini.

Oke sekian dulu untu story kali ini.

2 comments: